Komodo menempati wilayah Pulau Komodo, Pulau Rinca dan Gili Motang yang masuk dalam Taman Nasional Komodo di Labuan Bajo, NTT. Paling sering, komodo ditemui di Pulau Komodo dan Pulau Rinca yang mana juga dihuni oleh penduduk.
detikTravel pada pekan lalu dari tanggal 26-29 Oktober 2016 datang ke Labuan Bajo dalam acara 'Let's Explore Labuan Bajo with Garuda Indonesia'. Pada hari Kamis (27/10) pekan lalu, detikTravel trekking menjelajahi Pulau Komodo dipandu oleh ranger setempat, Abdullah.
Sambil berjalan kaki dan melihat komodo dari dekat, Abdullah menjalaskan banyak hal. Selain soal komodo, dia juga menceritakan tentang kehidupan masyarakat di Pulau Komodo dan Pulau Rinca.
|
"Iya di sini (Pulau Komodo dan Pulau Rinca) kita hidup berdampingan dengan komodo. Sudah biasa sejak dulu, rumah kita modelnya seperti rumah panggung agar komodo tidak datang," katanya.
Di Pulau Komodo, tinggal sekitar 1.300-an orang jumlahnya tak jauh beda dnegan di Pulau Rinca. Mata pencaharian penduduknya kebanyakan nelayan dan berternak kambing. Mata pencaharian lainnya dari ladang pariwisata dengan menjadi ranger, pemandu wisata atau pemahat patung komodo untuk suvenir.
|
Namun, cerita dari Abdullah ada yang menyayat hati. Lebih jauh dia bercerita tentang kehidupan masyarakatnya, muncul rasa ironi dalam hati. Masyarakatnya masih hidup dengan 'apa adanya'.
"Di Pulau Komodo dan Pulau Rinca belum ada listrik. Sudah terpasang tiang listrik tahun 2013 kalau tidak salah, tapi hanya tiangnya saja. Listriknya belum ada entah terealisasikan kapan," ungkap Abdullah.
Khusus di Loh Liang, kawasan wisata di Pulau Komodo sudah tersedia listrik. Namun wilayah ini tidak dihuni penduduk, hanya dari pagi sampai sore saja mereka datang untuk berjualan makanan dan suvenir. Berbeda dengan di Kampung Komodo, yang lokasinya cukup jauh di sisi pulau lainnya dan jadi tempat tinggal penduduk. Di Pulau Rinca, masyarakat setempat menggunakan genset atau panel surya. Listrik hanya nyala dari pukul 18.00 sampai 23.00 malam saja.
|
Tak hanya itu, persoalan air bersih juga jadi masalah. Sumur-sumur di sana mudah kering ketika musim panas tiba, sehingga membuat masyarakat harus membeli air dari Labuan Bajo. 20 Liter air dibanderol dari harga Rp 10 ribuan.
Ah belum selesai, Puskesmas dan sekolah di kedua pulau tersebut juga belum memadai. Sekolah di sana hanya sampai tingkat SMP saja dan kalau mau melanjutkan ke jenjang lebih tinggi harus ke Labuan Bajo. Sudah pasti, biaya yang dikeluarkan pun bisa lebih besar.
Sebenarnya, Labuan Bajo sudah dilirik pemerintah sebagai satu dari 10 Destinasi Prioritas. Bolehlah pariwisatanya berkembang dan semakin mendunia, tapi alangkah baiknya jangan lupakan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Dan perkataan Abdullah ini, semoga membuat pemerintah merenung.
"Komodo di sini mendunia, tapi masyarakatnya gelap gulita," tutupnya.
|
0 Response to "Komodo Mendunia, Tapi Masyarakatnya Gelap Gulita"
Posting Komentar