Saya hanya tinggal semalam di Amsterdam, saat berada di Belanda beberapa pekan lalu. Karenanya saya tak mau menyia-nyiakan waktu yang ada untuk jalan-jalan. Setelah menyelesaikan pekerjaan, saya dan beberapa teman berencana mengunjungi Red Light District, merupakan lokalisasi paling legendaris di Amsterdam.
Dalam beberapa menit selanjutnya kami sudah berada di dalam taksi Mercedes Benz. Saya sempat mengobrol dengan sopir taksi keren yang bernama Armand yang mengantarkan kami ke Red Light District malam itu. Sebelum sampai di Red Light District, Armand sempat melewatkan kami ke suatu jalan kecil.
"Ini mini Red Light District," katanya sambil menunjuk kios-kios dengan sorot lampu serba merah.
Di dalam kios-kios tersebut berdiri wanita-wanita dengan pakaian seksi. Hmmm, atau boleh dibilang para wanita itu hanya mengenakan underwear atau lingerie. Benar-benar pemandangan yang menggoda untuk kaum adam.
Tapi Armand berpesan supaya tidak memotret kios-kios itu karena hal itu dilarang. Kalau dilanggar, bisa-bisa turis akan kena masalah yang tak diinginkan. Hmm, ngeri juga.
Setelah mengamati sebentar mini Red Light District itu dari taksi, kami pun melanjutkan perjalanan menuju ke Red Light District. Jaraknya sebenarnya tak terlalu jauh, paling sekitar 5 menit saja.
Suasana lorong remang-remang di Red Light District (Ken/detikTravel)
|
Armand mengatakan tak bisa mengantar sampai lokasi karena daerah itu memang terlarang untuk mobil. Semua orang hanya boleh berjalan kaki.
"Saya akan mengantarkan kalian ke jalan paling dekat," kata Arman.
Armand kemudian menurunkan kami di samping sebuah pertokoan. Nah tepat di belakang pertokoan itulah Red Light District berada. Setelah membayar dan mengucapkan selamat tinggal pada Armand, kami pun mulai berjalan menuju Red Light District.
Saat itu jam sudah menunjukkan waktu pukul 23.30 waktu Amsterdam. Tapi sepertinya kehidupan di Red Light District baru saja dimulai. Banyak sekali orang-orang berlalu lalang.
Kami mulai melihat sorot lampu merah-merah dari kejauhan. Semakin dekat, kami bisa melihat kios-kios dengan etalasi besar. Sama seperti di mini Red Light District, kios-kios itu berisi sosok-sosok berpakaian seksi.
Aktivitas sosok-sosok itu macam-macam. Ada yang berdiri saja sambil tersenyum ke arah orang-orang yang lalu lalang, ada yang sedang berdandan, ada yang sedang menelepon sambil berpose seksi.
Kios tempat mereka berdiri juga bermacam-macam. Ada yang hanya berupa kotak dengan satu kursi saja, ada juga kios yang menyerupai sebuah kamar lengkap dengan tempat tidur dan kamar mandi.
Jika ada orang yang mengamati dari dekat, mereka akan menyapa. Bahkan membuka pintu kaca dan menyilakan orang tersebut untuk masuk ke biliknya.
"Mau masuk?" tanya gadis berambut pirang.
Jalanan di sekitar Red Light District Amsterdam (Ken/detikTravel)
|
Para gadis itu memang ramah tapi jangan sekali-sekali berlaku kurang ajar dengan mencolek-coleknya. Bisa-bisa Anda akan dihajar oleh para body guard yang berjaga di luar kios.
Jangan juga berani-berani memotretnya. Bisa-bisa Anda akan menyesal. Ada tulisan 'No Photo' di setiap kaca kios. Saya yang mengeluarkan ponsel untuk chatting saja sudah dipelototi. Maka sebaiknya simpan ponsel Anda baik-baik di dalam tas.
Selain kios-kios yang buka ada juga kios-kios yang tutup. Kaca besar yang sebelumnya digunakan untuk pamer tertutup gorden tebal. Saya menduga mungkin pemilik kiosnya sedang 'beraktivitas'.
Selain etalase-etalase berisi gadis seksi, Red Light District juga menyediakan banyak sekali hiburan-hiburan dewasa. Seperti kafe-kafe dengan aneka pertunjukkan dewasa seperti striptease, lap dance, pole dance, dan sex show.
Di tempat ini juga terdapat beberapa kafe khusus mariyuana. Kafe ini legal karena mariyuana dan ganja memang dilegalkan di Belanda.
Terdapat juga Red Light Secrets: Museum of Prostitution. Tiket masuknya sekitar 10 Euro (Rp 143 ribu). Museum ini berdiri belum terlalu lama yakni pada akhir tahun 2014. Museum ini merupakan museum pertama yang menceritakan tentang sebuah profesi yang termasuk tertua yaitu pekerja prostitusi.
Sayang sekali saya tak memasuki museum ini karena waktu sudah menunjukkan pukul 01.30 dini hari. Kaki saya sudah lelah berjalan dan mata saya sudah sangat berat. Kami pun menelepon Armand untuk menjemput kami di Red Light District. (ken/fay)
0 Response to "Red Light District Amsterdam yang Bikin Deg-degann"
Posting Komentar