Masjid Berusia 300 Tahun di Aceh yang Tak Hancur Dihantam Gempa

Meureudu - Baru-baru ini Desa Beuracan di Pidie Jaya, Aceh dilanda gempa. Bangunan hancur dan rusak, tapi tidak pada Masjid Teungku Di Pucok Krueng yang berusia 300 tahun.

Masjid tua berusia 394 tahun itu berdiri kokoh meski banyak bangunan di sekitarnya rusak akibat gempa. 16 Tiang penyangga dan atap yang terbuat dari kayu masih bagus. Hanya saja, beberapa kontruksi terbuat dari beton mengalami retak dan roboh.

Terletak di Desa Beuracan, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, Masjid Teungku Di Pucok Krueng di Pucok Krueng Beuracan, dibangun pada 1622 masehi. Saat gempa berkekuatan 6,5 SR mengguncang, dinding masjid sebelah barat yang terbuat dari beton ambruk.

Jamaah saf depan dapat melihat langsung ke luar tanpa lagi ada pembatas. Meski demikian, saat waktu salat tiba banyak masyarakat memilih salat di masjid kuno tersebut. Sebenarnya, di sampingnya juga sudah dibangun masjid lain terbuat dari beton seluruhnya.

Kini antara masjid kuno dan masjid baru sudah terpisah. Beton yang menyambung antara dua masjid tersebut telah roboh. Gapura yang dibangun dipagar juga hancur akibat gempa. Namun kini sudah dibersihkan kembali.

Masjid yang tak hancur oleh gempa (Agus Setyadi/detikTravel)Masjid yang tak hancur oleh gempa (Agus Setyadi/detikTravel)

Dihimpun detikTravel, Jumat (16/12/2016), pembangunan Masjid Teungku Di Pucok Krueng ini diinisiasi oleh Syekh Abdus Salim, seorang saudagar asal Madinah dan mendapat persetujuan masyarakat setempat.

Pada saat hendak mendirikan masjid, masyarakat di sana secara bergotong royong mencari kayu jati dibeberapa pegunungan di Kecamatan Meureudu. Prosesnya butuh waktu selama dua tahun. Hal itu disebabkan karena jarak gunung ke desa sangat jauh.

Proses pencarian material dipantau langsung oleh Syekh Abdus Salim. Setelah kayu terkumpul, baru giliran tukang bekerja. Ada 16 tiang yang dipakai untuk membangun masjid yaitu 12 tiang penyangga atap pertama pada sisi masjid, empat tiang penyangga atap dua dan satu tiang utama yang berfungsi sebagai penyangga atap tiga dan kubah.

Ukuran tiang bervariasi tergantung fungsi dan letaknya. 12 tiang penyangga atap pertama berukuran 23 sentimeter, sementara empat tiang berukuran 27 sentimeter dan tiang utama berukuran 35 sentimeter. Semua tiang berbentuk segi delapan.

Bangunan masjid hingga saat ini memang sudah beberapa kali direhap. Pertama, pada tahun 1947. Saat itu, masyarakat Beuracan secara swadaya berusaha memugar masjid. Pasalnya, beberapa bagian sudah mulai rusak.

Ukuran masjid juga diperluas ketika itu dari 10X10 meter menjadi 13X13 meter. Atapnya pun ikut dirubah menjadi seng dari sebelumnya beratap rumbia. Selain itu, masyarakat juga membuat dinding semen sebagai pembatas sekeliling masjid dengan tinggi sekitar 95 sentimeter.

Plakat berisikan sejarah singkat masjidnya (Agus Setyadi/detikTravel)Plakat berisikan sejarah singkat masjidnya (Agus Setyadi/detikTravel)

Renovasi tahap ketiga dilakukan pada tahun 1990. Gubernur Aceh Ibrahim Hasan yang ikut salat di sana pada masa itu tergerak untuk melakukan perbaikan. Masjid berhasil direhap dengan membuat dinding kayu pada sekeliling masjid yang terukir dan dibuat oleh tukang Aiyub asal Desa Grong-grong Beuracan.

Keberadaan masjid awalnya bukan hanya digunakan sebagai sarana tempat ibadah saja. Masyarakat juga belajar agama Islam dan melaksanakan kegiatan sosial serta menjadi tempat berkumpul warga. Selain itu, juga untuk mengatur strategi dalam penyebaran Syiar Islam ke seluruh pelosok di Meureudu.

Konon, di masjid ini juga terdapat sebuah guci yang dianggap keramat. Ukuran mulut guci asal Madinah ini berdiameter 35 sentimeter, badan 80 sentimeter dan disimpan di dalam sebuah bilik berukuran 120X120 sentimeter. Letaknya di depan bangunan masjid bagian utara.

Kala itu, guci ini digunakan untuk menyimpan air minum, mandi, cuci muka para jamaah salat Fardhu dan Jumat atau para pelepas nazar. Berdasarkan informasi yang ditempel di masjid, air di dalam guci ini dipercaya oleh para jamaah menjadi obat untuk menyembuhkan penyakit atau mendapatkan keberkatan.

Menurut Juru Kunci Masjid Purbakala, Teungku Bakhtiar Hasyem, guci yang ada sekarang ini merupakan pengganti dari guci yang dihadiahkan oleh kerajaan Cina Tiongkok pada masa Dinasti Ming. Guci tersebut awalnya dihadiahkan untuk kerajaan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.

Masjid yang bersejarah (Agus Styadi/detikTravel)Masjid yang bersejarah (Agus Styadi/detikTravel)

Pihak kesultanan selanjutnya menyerahkannya ke pengurus masjid sebagai tempat penampungan air. Badan dan mulut guci yang dihadiahkan tersebut bermotif naga. Masyarakat China yang beraliran Konghucu mempercayainya sebagai dewa penyelamat. Kepercayaan ini bertentangan dengan aqidah ummat Islam.

Motif naga yang ada pada bagian guci kemudian dihilangkan oleh Syekh Abdus Salim. Prosesnya tidak mudah. Ketika Beuracan direndam banjir parah, Abdus Salim memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mencopot semua ukiran bermotif naga.

"Tetapi merusak pemberian sultan merupakan perbuatan tidak baik," tulis Bakhtiar dalam inforamasi yang ditempel di masjid.

Untuk menutupi perbuatan tersebut, Syekh Abdus Salim membuat opini bahwa kala banjir merendam desa, guci masjid Beuracan berantam dengan guci dari Madinah. Guci asal Madinah memenangkan pertarungan sehingga berhak menetap di dalam masjid. Sementara guci lama terpaksa dipindah ke masjid lain yaitu Masjid Teungku Chik Dipasi di Desa Bubu Kecamatan Peukan Baro, Pidie.

Beberapa hari pasca gempa pada rabu (7/12) mengguncang, detikcom berkesempatan melaksanakan salat Jumat di sana. Warga ramai mengambil wudhu dari air yang mengalir dari guci. Untuk azan dan khutbah, digelar di dalam masjid di samping yang terbuat dari beton. Kedua masjid dipenuhi jamaah.

Kini, beberapa bagian dinding masjid dari semen retak dan roboh. Sementara kontruksi dari kayu tetap kokoh berdiri. Seolah tidak terkena gempa. (aff/aff)

Related Posts :

0 Response to "Masjid Berusia 300 Tahun di Aceh yang Tak Hancur Dihantam Gempa"

Posting Komentar