Perjalanan Mencari Makna Hidup di Perkampungan Baduy Kanekes Dalam

detikTravel Community -  

Traveler yang penat akan kehidupan kota, bisa menyepi sejenak ke Perkampungan Baduy Kanekes Dalam. Di sini kamu mungkin akan menemukan makna hidup yang sejati.

"Bangun, sebab pagi terlalu berharga untuk kita lewati dengan tertidur. Berjalan lebih jauh, menyelam lebih dalam, jelajah semua warna, bersama,"

Penggalan lagu 'Berjalan Lebih Jauh' dari Banda Neira tersebut menyambut pagi yang sejuk di Perkampungan Kanekes Dalam. Tentu saja suara Ananta Badudu dan Rara Sekar hanya terdengar dalam kepalaku saja. Tak ada suara 'peradaban' di sini. Yang ada hanya suara gerak warga Kanekes Dalam menyambut pagi dengan memasak dan anak kecil yang berjalan di antara rumah-rumah bambu. Ketenangan alam dan asap tipis yang berhembus dari mulut ketika menghembuskan nafas.

Waktu masih menunjukkan pukul 05.15 pagi. Setelah menggeliat menggerakkan tubuh yang kaku setelah menghabiskan malam dengan tidur di dalam kantong tidur yang hangat di atas lantai bambu yang berderak setiap kali tubuh bergerak, saya bergegas berjalan menuju ke sungai untuk membasuh diri dengan air sebelum menunaikan ibadah salat subuh.

Beberapa orang terlihat sudah di sungai melakukan kegiatan serupa. Mereka adalah pejalan yang sejak kemarin tiba di sini. Air terasa dingin. Kusempatkan untuk sekedar duduk menikmati atmosfer pagi dalam gelap. Mencoba menghirup sebanyak-banyaknya udara bersih ke dalam paru-paruku. Merasakan dinginnya. Mencari dengar suara burung. Memang benar, disini, pagi terlalu berharga untuk kita lewati dengan tertidur.

Tiba-tiba saya berteriak tertahan sembari menutup muka dengan kedua telapak tangan. Istri dan teman saya yang sedang berbincang dengan kenalan baru kami di kereta ini langsung menoleh dan bertanya ada apa.

GPS-nya kelupaan.. Jawabku dengan perlahan menyadari kebodohan yang baru saja kulakukan. Baru kali ini aku lupa membawa alat navigasi andalanku yang selalu membantu membuat pemetaan jalur lari ke gunung-gunung. Istriku hanya tersenyum lalu mencoba menghibur dengan memberikan Nori, camilan rumput laut yang dikeringkan. Sedikit berhasil.

Waktu masih menunjukkan pukul 06.00 pagi. Stasiun Besar Tanah Abang sudah penuh dengan hiruk pikuk calon penumpang. Loket sudah penuh dengan antrian calon penumpang yang akan membeli tiket kereta api lokal. Lantai dua seakan bergerak cepat dengan lalu lalang langkah kaki penumpang yang akan berpindah jalur. Tak ada beda dengan hari biasa, hanya di ibukota, akhir pekan terlalu kejam bagi sebagian orang.

Tepat pukul 08.00 pagi, kereta express Rangkas Jaya bergerak perlahan meninggalkan Stasiun Besar Tanah Abang. Menyusuri rel besi sejauh kurang lebih 90 kilometer yang akan membawa kami ke Stasiun Rangkasbitung dimana kami akan berganti menggunakan bis menuju ke Ciboleger, sebuah desa yang berbatasan dengan Desa Kanekes atau Perkampungan Kanekes.

Ini kali pertama kami berdua mengikuti perjalanan yang biasa disebut open trip, yaitu perjalanan terbuka bagi siapa saja yang mendaftar terlebih dahulu, menuju sebuah kawasan wisata yang diinginkan. Pagi itu di Stasiun Besar Tanah Abang, kami bertemu dengan 17 orang baru yang rencananya akan bersama-sama menikmati perjalanan menuju Perkampungan Kanekes Dalam. Kami lalu saling berkenalan, meskipun kemudian lupa dengan nama satu sama lain.

Sekitar dua jam waktu yang dibutuhkan untuk mencapai Stasiun Rangkasbitung, Kabupaten Lebak. Meskipun begitu, atmosfernya terasa berbeda dengan hiruk pikuk ibukota. Di sini, saya seperti sedang berada di salah satu stasiun kereta di kota Jawa Tengah. Mungkin banyak yang lupa, atau tidak tahu bahwa di tempat inilah Eduard Douwes Dekker atau Multatuli mendapatkan inspirasinya menuliskan novel Max Havelaar, yang menceritakan kekejaman kolonialisme jaman Belanda.

Pemandu kami, Angga, seorang pemuda berkacamata asli Bengkulu yang menghabiskan masa kuliahnya di Bandung, kemudian menemui seorang pemuda Kanekes Luar yang akan menemani rombongan kami dalam perjalanan ini. Saya mencuri-curi pandang kepada pemuda yang terlihat kuat ini. Memakai kaos hitam, celana jins selutut, beberapa buah gelang dari tali berwarna coklat dan memakai sandal jepit. Bandana hitam biru menutupi lehernya. Ekspresi wajahnya datar. Lebih banyak diam mendengarkan perkataan Angga.

Sesungguhnya, hingga bertemu dengan Sanati, seorang warga Kanekes Dalam yang menemani kami dalam perjalanan dari Desa Ciboleger menuju kampungnya, saya dan kebanyakan masyarakat Indonesia lainnya, masih menyebut kampungnya dengan sebutan Baduy. Sanati lalu menjelaskan bahwa tidak ada itu namanya Orang Baduy. Itu hanyalah sebutan masyarakat luar berdasarkan keberadaan Gunung dan Sungai bernama Baduy. Mereka lebih suka menyebut dirinya sebagai orang Kanekes, dari nama kampung atau desa mereka.

Tidak berapa lama, kami lalu berjalan menuju pasar, dimana sebuah bis kecil menunggu kami untuk segera naik ke Desa Ciboleger. Sebelum berangkat, Angga membagikan cinderamata, sebuah bandana biru hitam khas Kanekes, serupa yang dipakai oleh pemuda Kanekes tadi.

Perjalanan dengan bus menuju Desa Ciboleger, gerbang pendakian, sungguh membuka mata. Dengan jarak yang tidak seberapa jauh dari ibukota negara, masih ada juga daerah yang seperti ini. Bahkan, jalan di Kabupaten Bima, di ujung timur Pulau Sumbawa, NTB masih lebih baik. Jalan aspal rusak, berdebu, berlobang dimana-mana seperti sedang menaiki perahu diombang-ambing ombak di lautan. Dedaunan dari pohon di tepi jalan menjadi coklat karena debu yang beterbangan. Lebar jalan yang hanya cukup untuk dua mobil membuat keterampilan menyetir pas-pasan tidak layak dipakai di sini.

Sepanjang jalan kita disuguhkan pemandangan penggalian pasir dari bukit-bukit hijau. Tebing-tebing yang terbuka mempertontonkan bekas garis-garis moncong mesin penggaruk raksasa. Persis seperti Brown Canyon di Semarang, bukti kegagalan manusia dalam hidup berdampingan dengan alam yang kemudian menjadi obyek wisata terkenal. Puluhan truk hilir mudik di jalanan membawa pasir entah kemana.

Supir truk pun bercerita tentang masyarakat yang banyak menyewakan tanahnya hingga tahunan kepada perusahaan-perusahaan untuk mengambil pasir. Ada juga yang sistem bagi hasil. Dengan kondisi ekonomi yang semakin berat, pilihan konservasi alam tidak masuk dalam hitungan. Daripada tanah kosong tak menghasilkan dan tak bisa ditumbuhi ditanami sayuran atau tanaman pangan lainnya, pengerukan pasir yang tidak butuh modal oleh warga pun menjadi pilihan praktis.

Tiba di kawasan parkir Desa Ciboleger, sekitar 10 mobil pribadi dan tiga buah bis berukuran besar yang sudah menempati lahan parkir tersebut. Akan ramai pengunjung di atas ujarku dalam hati. Kami lalu diarahkan menuju ke salah satu warung makan untuk makan siang dan beristirahat serta melengkapi perbekalan. Tanpa basa basi, saya lalu menyantap sepiring nasi dan sayur lengkap dengan tahu dan tempenya. Segelas teh panas manis menjadi penutup.

Sekilas area ini seperti area istirahat di tepi jalan Pantura, dimana banyak kendaraan yang berhenti untuk supir dan penumpang sekedar meluruskan badan dan mengisi perut yang keroncongan. Beberapa tampak warung kopi dan warung makanan. Bahkan, salah satu gerai swalayan terkenal berwarna kuning merah sudah membuka cabang di sini.

Tepat pukul 13.30, kami mulai berjalan menuju perkampungan Kanekes Dalam. Angga dan salah seorang pemandu kami lalu berbelok menuju ke rumah kepala desa Kanekes untuk melaporkan kedatangan rombongan kami.

Berjalan Mendaki Perbukitan

Jalur trekking berangkat dibuka dengan jalan menanjak dari undakan berbatu yang disusun menjadi jalan utama desa dan gang diantara rumah-rumah kayu. Mirip seperti jalur pendakian Cibodas-Kandang Badak di Gunung Gede Pangrango di Jawa Barat atau jalur mejelang Dusun Promasan di Gunung Ungaran, Jawa Tengah.

Jenis trek seperti ini biasanya tidak begitu disukai karena telapak kaki terasa lebih sakit oleh bebatuan, beda dengan trekking di jalan tanah. Lalu, saya bersyukur ini bukan musim hujan. Beberapa orang ibu-ibu terlihat sedang menenun kain di teras rumah mereka. Rumah yang terbuat dari kayu dan bambu. Tampak beberapa lembar kain dan pakaian khas Kanekes yang terpajang, berharap dibeli oleh pengunjung.

Jalur berbatu ini cukup panjang. Kira-kira hingga melewati perkampungan Kanekes Luar. Disini saya lalu menyesal tidak membawa GPS. Informasi datanya menjadi tidak akurat. Biasanya dengan GPS, saya bisa tahu panjang perjalanan dan elevasinya. Menggunakan aplikasi telepon genggam akan menghabiskan banyak tenaga baterai dan di tempat tujuan kami, tidak ada sumber listrik. Berjalan paling belakang, saya bersama dengan seorang pemuda Kanekes Luar lainnya yang tidak banyak bicara. Kebiasaan saya ngobrol dengan penduduk setempat pun harus ditahan dulu.

Berikutnya adalah trek dari tanah kering. Di sini saya melepas sepatu karena ingin merasakan bertelanjang kaki menikmati pijatan-pijatan alami seperti ketika saya sedang lari telanjang kaki sehari-hari. Tentu saja, beban ransel saya jadi terasa lebih berat.

Hingga ke perbatasan wilayah Kanekes Luar dan Kanekes Dalam, treknya masih ramah dengan banyak turunan dan dari tanah-tanah. Namun, di beberapa bagian trek curam menanjak sampai mendekati kemiringan 60 derajat sesekali menyapa pengunjung. Dan, di beberapa bagian, harus mengandalkan tangan berpegangan di bebatuan untuk membantu menarik dan mengangkat badan, terutama dengan beban ransel besar.

Jalur melingkar dan menyisir punggungan perbukitan mendominasi. Pemandangan terbuka hutan dan pepohonan tampak jelas, dan beberapa area tampak baru saja selesai dibuka dengan cara dibakar. Sepertinya akan dijadikan area ladang warga.

Beberapa kali kami menyeberang sungai dengan menggunakan jembatan bambu yang akan sedikit bergoyang bila di lewati lebih dari dua orang. Tiba di jembatan bambu ketiga, kami di beritahu bahwa disini adalah perbatasan wilayah Kanekes Dalam dan Luar, yang berarti tidak boleh mengambil gambar. Saya lalu mematikan kamera poket yang sedari tadi sudah bekerja mengambil gambar perjalanan kami. Beberapa anggota rombongan mengambil swafoto (untuk kesekian kalinya) sebelum tuna foto hingga besok siang.

Berjalan di bagian belakang rombongan, saya menyadari satu hal. Tidak semua peserta ini terbiasa dengan jenis wisata seperti ini. Mendaki naik turun bukit, membawa beban berjam-jam. Banyak dari mereka yang harus berhenti di setiap tanjakan, duduk beristirahat. Bahkan, beberapa sudah menyerahkan tas ransel bawaannya untuk dibawakan oleh tiga orang pemandu kami.

Hal seperti ini banyak terjadi di kalangan pejalan muda. Kebanyakan dari mereka tidak meluangkan waktu untuk sekedar mencari tahu tujuan bepergiannya. Bagaimana lokasinya, apa yang menarik, perbekalan dan peralatan seperti apa yang dibutuhkan, karakter perjalanannya, cuaca, apakah harus berjalan lama, mendaki bukit dan banyak lagi. Semua hal ini akan membantu kita mendapatkan rasa nyaman dan secara tidak langsung, keamanan perjalanan. Jenis jalan-jalan seperti yang sering kusebut bukan jalan-jalan biasa.

Sekitar 2 kilometer menjelang kali dan jembatan perkampungan Kanekes Dalam, jalanan turunan curam dengan tanah dan bebatuan yang disusun sebagai jalan kampung. Batu-batu yang dipergunakan sama dengan jalan di wilayah Kanekes Luar, ukurannya besar-besar dan sedikit bulat atau lonjong, seperti yang banyak di temukan di sungai. Hari menjelang petang. Rombongan kami sudah terpisah sejak beberapa waktu lalu. Pejalan yang kuat sudah duluan bersama Sanadi dan Angga. Sedangkan rombongan kami di belakang. Istri dan saya lebih memilih berjalan menemani tiga orang peserta yang memiliki kemampuan fisik paling rendah.

Malam lalu turun mengurung sinar matahari. Kami lalu mengeluarkan senter dan berjalan lebih hati-hati. Lalu, dari jauh, tampak sinar lampu senter berkelap kelip seolah memberi tanda kepada kami. Rupanya pemuda Kanekes pemandu kami. Kami lalu bersorak gembira telah tiba di tujuan. Kinan, peserta yang berjalan paling pelan tak hentinya mengungkapkan rasa lega.

Menurut keterangan pemandu kami, berdasarkan keterangan pembangun jalan, jarak dari perbatasan Desa Ciboleger, pintu gerbang berwarna biru 'Selamat Datang di Baduy' menuju ke Perkampungan Kanekes Dalam sekitar 12 kilometer. Lagi-lagi, saya menyesal tidak membawa GPS. Kami membutuhkan waktu sekitar lima jam perjalanan.

Dalam Keheningan Malam

Malam ini kami menginap di rumah ibu salah satu pemandu kami. Rumah itu khusus untuk rombongan kami. Di beberapa rumah lainnya sudah terisi dengan rombongan tamu-tamu dari berbagai kota seperti Bogor dan Jakarta. Di dalam rumah tak ada penerangan dari lampu. Sumber penerangan berasal dari lampu minyak damar yang di tempatkan di tempurung kelapa. Dindingnya dari bilah bambu yang dianyam dan tiang-tiang dari kayu. Tak ada paku untuk menyatukan semua bahan bangunan, semua menggunakan pasak kayu dan ikatan tali dari rotan.

Lantai rumah pun dari anyaman bilah bambu yang berderik setiap ada gerakan langkah kaki atau geliat tubuh. Rumah hanya terdiri dari dua ruangan. Satu untuk tidur dan ruang keluarga dan lainnya untuk dapur dan meletakkan beberapa peralatan rumah tangga. Ada satu bilik kecil yang sepertinya dibuat untuk tempat berganti pakaian para tamu yang menginap. Pintu utama rumah tak bisa tertutup rapat.

Di langit-langit ada semacam loteng terbuka untuk meletakkan beberapa alat penyimpanan bahan makanan dan peralatan bercocok tanam. Mengingatkan saya akan rumah di salah satu desa di kabupaten Tegal yang kerap dilanda banjir bandang. Ketika hujan deras mengguyur, masyarakat biasanya akan meletakkan barang-barang berharga mereka di loteng darurat tersebut sekedar berjaga-jaga bila terjadi banjir.

Beberapa orang lalu mengajak untuk mandi dan bersih-bersih. Saya pun ikut. Kami lalu diantar oleh anak salah satu pemandu yang berjalan lincah dalam kegelapan. Kami yang membawa senter masih sedikit harus menyesuaikan diri dengan jalan berbatu. Karena terbiasa, maka menjadi mudah. Tiba di sungai, sudah ada beberapa orang lelaki yang berendam terlebih dahulu. Kami lalu bergabung. Perempuan berjalan sedikit lebih jauh menuju pancoran khusus perempuan.

Di sini, tidak diperbolehkan menggunakan bahan kimia, termasuk sabun mandi, sampo hingga pasta gigi. Kami lalu mandi (berendam di sungai) dan menggosok badan dengan batu sungai atau rumput.

Selama berendam, satu hal yang saya amati. Banyak kunang-kunang berkeliaran. Secara ilmiah, sungai memang salah satu habitat kunang-kunang dan tanda bahwa udara serta kualitas airnya masih bagus. Namun, secara kepercayaan masyarakat, keberadaan kunang-kunang dianggap sebagai pertanda hadirnya makhluk halus.

Saya lalu mematikan lampu senter. Mencoba menikmati kegelapan. Total tanpa cahaya. Sedikit terkejut, saya tidak merasa takut. Biasanya, bahkan ketika sedang mendaki gunung sendirian, dalam keheningan, meskipun saya tahu ada pendaki lain, ada sediki terbersit rasa takut dalam kesendirian. Mungkin, kali ini saya benar-benar menikmati suasana. Atau karena saya tahu tidak jauh dari sini ada banyak manusia.

Ada satu hal yang paling menarik perhatianku segera ketika kami tiba di rumah tersebut. Tidak butuh lima menit, dua orang warga datang menawarkan berbagai jenis cinderamata. Mulai dari kain tenun, kaos sablon, pakaian khas, gantungan kunci, gelang hingga golok. Dan hal yang sama dilakukan oleh pemilik rumah. Saya tidak pernah membayangkan transaksi jual beli akan terjadi di perkampungan ini. Saya hanya melihat kejadian seperti ini di tempat-tempat wisata komersil seperti Bali.

Malam itu kami makan sederhana. Nasi panas, ikan kaleng dan mi instan. Menu yang disiapkan oleh Angga. Kami membawa peralatan makan masing-masing. Beberapa orang yang tidak membawa, lalu berbagi peralatan. Pemilik rumah lalu minjamkan gelas dari bambu untuk dipergunakan oleh Angga dan beberapa orang lainnya.

Setelah makan, aku menyempatkan diri untuk jalan keluar di sekitar perkampungan. Berbekal senter, aku berjalan sendirian menyusuri gang di sela-sela rumah yang tampak sepi dan tenang tanpa suara. Tak ada cahaya yang tampak dari sela dinding bilah bambu. Tak ada suara anak kecil atau obrolan orang tua mereka. Yang ada hanya beberapa suara obrolan pengunjung.

Dari alun-alun, begitu urang kanekes dalam menyebut sebuah tanah lapang di tengah perkampungan, saya berhenti dan mematikan senter. Gelap gulita. Aku bahkan tak bisa melihat kedua telapak tanganku sendiri. Langit tidak begitu terang. Bintang tampak samar-samar dari balik awan. Hampir tak ada suara. Saya menyukai kesunyian seperti ini.

Kembali Pulang

Jalur trekking pulang mengambil jalur yang berbeda. Dibuka dengan tanjakan curam yang cukup menguras tenaga, sejuknya udara pagi di tengah hutan lebat cukup membuat kami lebih nyaman. Â Sinar mentari pagi terhalang oleh dedaunan dan pepohonan yang berukuran besar. Banyaknya tanjakan di jalur ini cukup menyulitkan beberapa orang yang mungkin tidak terbiasa pada jalan jauh dan trekking. Namun, candaan yang tak henti-hentinya membuat perjalanan terlihat sedikit lebih mudah.

Sekitar dua jam, kami tiba di puncak punggungan pegunungan, jalan menurun nya sunggah sangat menggoda untuk lari. Tanah kering tanpa bebatuan. Beberapa orang terlihat menikmati lari gunung. Sepertinya mereka memang datang untuk menikmati lelarian. Barang dan perlengkapan menginap mereka dibawa oleh porter dari warga Kanekes Dalam. Di sini, kami akhirnya diperbolehkan mengambil gambar.

Selama perjalanan kami, ada dua atau tiga warga yang ikut berjalan namun dengan langkah yang lebih cepat. Mereka memikul dua buah ember bekas cat berukuran masing-masing 25 kg. Awalnya tidak terlalu menarik perhatian, namun tidak lama, tepat setelah tanjakan-tanjakan yang menguras tenaga, mereka ternyata telah menunggu dan menawarkan beragam jenis minuman dingin. Tentu saja kami langsung menyerbu aneka minuman dingin tersebut. Sungguh sebuah strategi penjualan yang berdasarkan analisis karakter calon konsumen.

Sekitar 90 menit menjelang Desa Ciboleger, kita akan melewati sebuah danau tenang dengan warna air kehijauan. Danau ini berada sekitar 30 meter dari jalur trekking. Sebuah lokasi yang tepat untuk beristirahat. Sebuah kesempatan untuk sekedar melemaskan otot pundak yang membawa beban berat. Kami menghabiskan sekitar 30 menit disini. Kebanyakan untuk berfoto dan menikmati kudapan. Seorang perempuan muda menjajakan dagangannya. Minuman dingin, aneka kue-kue dan minuman panas. Sangat menggoda para pengunjung yang sudah menghabiskan tenaga berjalan di tengah cuaca yang panas menyengat.

Tidak berapa lama berjalan di jalur turun dengan kombinasi tanah dan pemandangan alam Bumi Banten yang mengingatkan saya akan atmosfir alam di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta ini berakhir. Kami tiba tepat di samping salah satu rumah kampung badui luar yang berbatasan dengan batas Desa Ciboleger. Tampak jejeran rumah warga yang juga berfungsi sebagai tempat menjual cinderamata seperti kain tenun, gantungan kunci dan bandana. Saya? Mempercepat langkah menuju warung makan tempat kami berkumpul sembari membayangkan nasi panas dan telor dadar pedas.

Pukul 13.30, kami bersiap pulang. Salah satu pemandu kami dari Kanekes Dalam, memberi istri saya dan saya oleh-oleh. Dua buah bungkusan berisi gula merah.

Related Posts :

0 Response to "Perjalanan Mencari Makna Hidup di Perkampungan Baduy Kanekes Dalam"

Posting Komentar