Traveler tentu pernah mendengar legenda Malin Kundang yang dikutuk ibunya karena durhaka. Filipina juga punya kisah serupa di Pulau Capitansillo.
Besok ada agenda apa Xav? Tanyaku pada kawan serumah sore itu ketika kami sedang menunggu becak motor untuk pulang ke rumah.
Belum ada recana, memang kenapa? Kamu punya ide? Balasnya sembari bertanya.
Ayo kita pergi ke Capitansillo. Aku pengen lihat seperti apa pulaunya, ujarku kepadanya.
Ayolah. Agak pagi ya berangkatnya biar tidak terlalu sore pulangnya, ujar Xav.
Salah satu becak motor yang lalu lalang pun berhenti. Kami naik lalau duduk bersebelahan dengan penumpang lainnya.
Keesokan harinya sekitar pukul 05.30, kami mulai berjalan meuju ke pertigaan di mana becak motor biasa mangkal. Di kota ini, satu-satunya alat transportasi umum adalah becak motor. Ongkos menuju ke Odlot sebuah barangay (setingkat desa) yang salah satu pantainya menjadi lokasi perahu-perahu nelayan bertambat dan menyediakan jasa penyeberangan adalah sekitar 10 Peso (sekitar 3.000 rupiah).
Namun karena pagi itu penumpangnya hanya kami berdua, biasanya satu becak motor diisi enam orang penumpang. Kami membayar 100 Peso untuk berdua. Dan pagi itu kami menikmati perjalanan melintasi perbukitan dan sejuknya udara pagi selama 30 menit.
Tiba di Odlot, kami menyusuri pantai yang terletak di belakang balai desa atau balai barangay. Mencoba mencari nelayan yang bersedia mengantarkan kami ke Capitansillo yang sesungguhnya tampak samar-samar dari tepi pantai ini. Tidak ada harga yang pasti, tinggal kemampuan tawar menawar yang diperlukan.
Karena kami berdua adalah orang asing di tempat ini, termasuk tak bisa berbahasa setempat, modal senyum, ramah tamah serta bahasa tubuh yang kami pergunakan.
Tidak lama kemudian, seorang bapak kira-kira berumur 55-60an sedang berjalan ke arah kami. Dan kami pun bertanya tentang perahu yang bisa membawa kami ke pulau seberang.
Di luar dugaan, bapak tersebut malah menawarkan jasanya sendiri. 1.400 Peso untuk perjalanan pergi pulang satu hari ini. Setelah mencoba menawar, dia lalu menjelaskan bahwa dia pun harus memberikan uang 3.000 Peso ke penjaga mercusuar di sana.
Setelah berpikir, ini kan liburan. Sedikit uang kebih tak ada salahnya. Karena menurut kami, saya sih lebih tepatnya, sedikit terlalu mahal.
Si bapak bersama dengan seorang pemuda lalu menurunkan jaring tangkapnya. Beberapa orang nelayan yang sedang asyik bercengkerama lalu membantu kami untuk menarik dan sebagian orang mendiring serta mengangkat kapal masuk ke air.
Capitansillo Islet adalah sebuah pulau kecil yang terletak sekitar 10 Km dari pusat Kota Bogo, Cebu, Filipina. Pulau yang daratannya kira-kira kurang dari setengah lapangan sepak bola ini menjadi salah satu tujuan wisata pendatang di kota yang terletak di Utara Pulau Cebu.
Menurut cerita yang saya baca dari laman resmi Kota Bogo, konon katanya pulau ini adalah kapal laut milik salah satu kapten dari Spanyol yang menghina Raja Bogo dan ketika hendak kabur, dikutuk dan menjadi pulau yang kini menjadi lokasi mercusuar pemandu bagi kapal di perairan Bogo.
Saya lalu tersenyum melihat cerita rakyat Malinkundang dari tanah Sumatera. Selain cerita rakyat tersebut, sesungguhnya tidak banyak informasi tentang pulau kecil ini.
Sesungguhnya tidak banyak hal yang bisa dilakukan di daratan ini. Tentu saja, karena tujuan utama datang ke pulau ini adalah untuk bermain-main di dalam air yang sangat jernih.
Namun, dari melihat foto-foto di internet, dulu pulau ini memiliki beberapa tempat beristirahat seperti gazebo. Di mana pengunjung bisa dduk santai berlindung dari terik panas yang menyengat atau sekedar meletakkan barang-barang selama menikmati perairan di sekitar pulau karang ini.
Setelah memakai semua perlatan masker snorkel dan finnya, Xav dan saya lalu menceburkan diri ke dalam air. Berbagai macam jenis ikan dapat terlihat dengan jelas, warna-warni.
Dasar perairan penuh dengan pasir putih dan bongkahan karang yang sudah mati. Mungkin, dulunya di sini ada praktek penangkapan ikan secara ilegal. Seperti penggunaan bom atau hancur karena ombak. Entahlah, tampak jelas sekali potongan karang - karang bertebaran.
Namun, semakin ke arah dalam menjauhi pulau, karang - karang masih bagus dan ikan makin beragam. Lalu, tampaklah perbatasan laut dalam bitu gelap tanpa dasar.
Beberapa ikan berukuran besar berwarna-warni tampak di sini. Ribuan ikan-ikan kecil berenang ke sana ke mari dalam sati gerakan seperti dalam film dokumenter National Geographic. Dari jauh, Xav menyelam ke sana ke mari. Mengganggu rombongan ikan tersebut.
Setelah puas menikmati berenang ke sana ke mari melihat ikan dan bermain-main dengan ombak, kami lalu keluar dari air dan berjalan-jalan di atas pasir dan bebatuan. Saya lalu menghabiskan waktu mencari-cari obyek foto, sedangkan Xav menikmati berbaring di atas tembok bangunan yang sudah rusak.
Ada sebuah bangunan yang berdiri mengelilingi menara mercusuar. Ada dua buah ruang yang sepertinya dipergunakan oleh penjaga mercusuar untuk tidur dan memasak. Saya tidak sempat bercengkerama dan ngorol dengan penjaga yang sedang asyik berbincang-bincang dengan nelayan yang membawa kami. Kendala bahasa menjadi salah satunya.
Saya hanya bisa membayangkan betapa sabarnya orang yang mau (terpaksa) bertugas di tempat kecil ini. Berada di tempat kecil ini, kami merasakan kedamaian dari suara-suara peradaban. Hanya suara debur ombak yang menabrak dinding karang. Bilah-bilah daun pepohonan yang bergesekan.
Sesekali terdengar suara dari telepon pintar, ketika ibu jariku menekan tombol pengambil gambar. Xav asyik melempar bebatuan ke laut, berharap bisa berjalan di atas permukaan air.
0 Response to "Pulau Capitansillo, 'Malin Kundang' versi Filipina"
Posting Komentar