Akhir Pekan Mendaki Gunung Lawu, Ini Kisahnya

detikTravel Community - Gunung Lawu di Jawa Timur jadi destinasi menantang untuk ditaklukkan di akhir pekan. Pengalaman mendaki Gunung Lawu akan terkenang dalam hidup. Ini kisahnya.

Gunung Lawu menjadi pilihan pendakian pertama yang saya lakukan di tahun ini. Untungnya masih punya kesempatan untuk latihan fisik sebelum pendakian, kalau engga yaaah bisa menyusahkan diri sendiri bahkan orang lain, heuu. Bisa dibayangkan saat pendakian kemarin, ternyata cuaca sedang badai angin karena katanya saatnya pergantian musim.

Berangkat dari Stasiun Pasar Senen pukul 17.00 WIB, kereta pun melaju dengan kecepatan pas-pasan hingga sampai di Stasiun Solo Jebres pukul 02.30 dini hari. Sesampainya di stasiun, rencana awal akan naik bis hingga Terminal Tawangmangu, ternyata bis mulai beroperasi sekitar pukul 5 pagi.

Kami pun keluar dari stasiun pukul 03.30 dengan tujuan mencari makan atau sekedar nongkrong di warung sembari menunggu pukul 5 pagi. Namun, begitu melewati pintu gerbang stasiun, seorang bapak menghampiri dan menawarkan jasa taksi mobil.

Bapak X: Mau kemana?
Kami : Lawu, mau naik dari Cemoro Sewu, Pak
Bapak X: Ayo dianterin sampe pintu masuknya, 250 aja, boleh mampir dimana aja kalau mau makan dulu. Udah murah ini, biasanya 350.

Dengan sigap, kami pun menerima tawaran Bapak X. Ya lumayan, bisa makan gudeg dulu di Solo, solat subuh di mesjid, dan langsung meluncur ke Cemoro Sewu dengan kecepatan maksimal karena jalanan masih sepi. Kami pun sampai di gerbang pendakian Cemoro Sewu jam 6 pagi setelah menempuh perjalanan kurang lebih 1 jam-an.

Pagi itu, cuaca agak mendung, kabut tebal, angin sepoi-sepoi hingga kencang, dan beberapa kali gerimis. Di parkiran terlihat keramaian mobil dan motor, namun orang yang terlihat hanya beberapa.

Ada yang sedang packing persiapan naik gunung, ada yang duduk santai di depan pos ranger karena sudah turun gunung, dan ada juga yang sekedar berselfie ria di depan gerbang pendakian Cemoro Sewu lalu beranjak pergi.

Sambil menunggu warung soto buka, kami duduk di bangku luar warung yang available untuk diduduki. Ada beberapa ibu penjual gorengan berdiri di pinggir jalan memanggil-manggil untuk membeli dagangannya. Kami pun memborong gorengan untuk perbekalan pendakian nanti.

Kami juga mampir di pos ranger dan mendapat cerita dari beberapa pendaki yang baru saja turun. "Di atas kemarin badai, dingin, warung yang buka hanya di beberapa pos, lagi rame di atas," si Bapak bercerita.

Cuaca yang dingin lumayan menusuk badan, detik demi detik, menit demi menit, hingga jam demi jam kami lewati sambil menunggu kabut turun. Warung pun buka jam 8 pagi.

Tanpa pikir panjang kami langsung memesan semangkok soto dan juga teh panas untuk mengisi perut yang mulai kelaparan. Setelah selesai makan, kami memesan beberapa bungkus nasi putih untuk berjaga-jaga, walaupun sebenarnya tiap warung di sepanjang pendakian dijual nasi beserta lauk.

"Kabutnya sih bakal gini terus, gapapa naik sekarang aja," ungkap Bapak warung. Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi, namun cuaca tidak berubah, sama seperti waktu kami sampai disini. Kami pun bergegas packing supaya naiknya tidak kesiangan.

Sebelum memulai pendakian, kita harus melapor terlebih dahulu ke basecamp dengan menandatangani surat pernyataan, membayar tiket untuk pendakian seharga Rp 15.000 per orang, dan menaruh KTP asli salah satu anggota di basecamp ini.

Bacalah dengan seksama 11 poin yang tercantum dalam surat pernyataan pendakian tersebut demi keselamatan diri sendiri dan juga alam sekitar kita. Satu poin yang menjadi pertanyaan kami, yaitu poin nomor 5, berangkat dan pulang lewat jalur pendakian Cemoro Sewu.

Sementara kami ingin mencoba jalur pulang via Cemoro Kandang, lalu bagaimana dengan KTP-nya?

Mas nya bilang, "Cemoro Kandang itu ada di bawah gerbangnya, jalan kaki cuma 500 m, nanti tinggal jemput lagi ke sini,"

Hoo, noted. Saya baru tahu. Tapi bagi yang ingin lewat jalur berbeda lagi, yaitu Candi Cetho bisa meninggalkan fotokopi KTP saja di basecamp Cemoro Sewu.

Basecamp - Pos 1 Wes-Wesan (2163 mdpl)
Memulai pendakian, kita akan langsung disuguhi jalanan berbatu yang sudah tersusun rapi, hutan yang agak rimbun, dan sesekali terdapat tanjakan. Lumayan untuk memanaskan badan sebelum menempuh jalanan yang lebih terjal lagi.

Di Pos 1 ini terdapat sebuah shelter yang cukup luas bisa menampung banyak orang, dan sebuah warung yang kebetulan buka waktu itu. Di dalam warung kita juga bisa beristirahat karena sudah tersedia tikar yang cukup untuk menampung sekitar 20-an orang. Ibu warung menjual gorengan, nasi bungkus dan lauk di dalamnya, mie, dan juga berbagai macam minuman. Kami istirahat sebentar dan ngemil gorengan disini.

Pos 1 - Pos 2 Watu Gedeg
Jalurnya mirip seperti sebelumnya, didominasi oleh jalur bebatuan bertangga, namun jalannya lebih menanjak dibanding sebelumnya. Karena banyak batu-batu besar dikiri dan kanan jalan, kami sering istirahat duduk di batu-batu sambil merenung tentang masa depan #ea. Di Pos 2 terdapat sebuah shelter dan juga warung, kami makan siang di dalam warung sebelum melanjutkan perjalanan.

Pos 2 - Pos 3 Watu Gede
Sepanjang perjalanan kita akan ditemani oleh batu-batu besar sepanjang jalan. Jalur masih berupa bebatuan, dan lebih terjal dari jalur sebelumnya. Pemandangan kebawah semakin bagus karena kita berada di lereng gunung. Di Pos 3 tidak terdapat warung, namun sama seperti Pos 1 dan 2, ada shelter untuk beristirahat.

Pos 3 - Pos 4 Watu Kapur
Jalur yang dilewati semakin menanjak tiada henti, masih dengan tipe tangga berbatu, dan bersebelahan dengan jurang sehingga jalannya sempit dan terdapat beberapa pegangan besi untuk keamanan pendaki. Pos 4 berupa daratan sempit dan hanya bisa menampung sekitar 2 tenda saja. Saat itu angin semakin kencang dan kabut semakin tebal sehingga lumayan membuat ngos-ngosan seiring menanjaknya jalur yang dilewati. Kami beristirahat untuk solat disini.

Pos 4 - Pos 5 Jolotundo
Dari Pos 4 ke 5, masih dengan jalur berbatu, namun anak tangga semakin landai. Tapi karena kabut dan angin yang semakin tidak karuan, kami memutuskan untuk menginap di warung Pos 5. Ada beberapa warung di Pos 5 ini, namun yang buka hanya satu saja. Dan saat itu hanya rombongan kami yang sampai sesore itu, karena ternyata orang-orang lebih memilih jalan di malam hari. Gak kebayang deh rasanya jalan di malam hari dengan kondisi badai kabut dan angin, heuu.

Hari sudah menunjukkan pukul 18.30 malam, dan kami pun langsung tidur ditemani oleh angin kencang di luar. Dinginnya pun menjadi-jadi, mencapai satu digit. Belum ada satu orang pun yang datang ke warung sampai kami terbangun dini hari, jam 00.00, suara yang awalnya hanya terdengar angin gemuruh, menjadi ramai dengan suara orang-orang yang berdatangan hingga pagi hari.

Sunrise di Pos 5
Walaupun angin masih bertiup kencang, akhirnya saya memberanikan diri keluar warung pukul 06.00 pagi. Ternyata matahari menampakkan wajahnya dan sinarnya pun menghapus kabut tebal yang selalu menemani perjalanan hari kemarin.

Rencana awal untuk pergi ke puncak kami ganti dengan pergi ke savana jalur Candi Cetho. Memang agak random, karena tujuan utama kami memang bukan untuk mencapai puncak, tapi untuk menikmati alam Indonesia yang indah ini, kemana aja asalkan happy.

Pos 5 - Sendang Drajat
Lupakan jalur tangga berbatu, saatnya menikmati jalanan yang landai, walaupun masi ada batunya tapi lebih bersahabat. Di Sendang Drajat juga terdapat warung, goa yang bisa dimanfaatkan untuk lokasi membangun dome, dan juga mata air yang dianggap suci oleh peziarah.

Konon katanya dulu mata air ini merupakan tempat mandi para raja. Tak jarang peziarah sengaja datang ke sini untuk mandi tengah malam dengan mata air suci tersebut.

Sendang Drajat - Mbok Yem
Jalurnya semakin bersahabat, batu sudah mulai menghilang, dan kita akan melewati jalur tanah yang mengasyikkan. Sampailah kami di Warung Mbok Yem, yang katanya merupakan salah satu warung tertinggi karena terletak di kawasan puncak gunung. Menu makanan favorit disini adalah nasi pecel plus telor ceplok. Enak!

Mbok Yem - Savana via Candi Cetho - Mbok Yem
Jalurnya asyik karena turunan, apalagi kalau tasnya dititip dulu di Warung Mbok Yem, tapi tetep aja jalan baliknya jadi nanjak lagi, haha. Yang penting happy udah liat savana di Gunung Lawu.

Di perjalanan menuju savana kami melewati Pasar Dieng, Hargo Dalem, dan juga Rumah Botol. Penampakan dari luar si 'Rumah Botol' ini sangatlah unik karena terbuat dari botol dan kaleng bekas para pendaki. Katanya sih Rumah Botol ini biasa dijadikan penginapan oleh Tim SAR.

Turun Via Cemoro Kandang
Menurut saya, jalur Cemoro Kandang ini paling enak untuk turun gunung bagi yang ingin menyelamatkan lututnya dari cidera jika melewati tangga berbatunya Cemoro Sewu. Jalurnya lebih landai, didominasi oleh jalan tanah, walaupun tetap bertangga, tapi yang penting bukan tangga batu deh, ampuun batu.

Alhamdulillah perjalanan kami lancar hingga sampai lagi di bawah. Sesampainya di basecamp Cemoro Kandang langsung bersih-bersih, solat, lalu salah satu dari kami berjalan kaki mengambil KTP ke basecamp Cemoro Sewu. Karena angkot sudah tidak beroperasi lagi jam 5 sore, kami pun harus mencari angkutan untuk ke Solo, untungnya ada yang mau menyewakan kendaraannya. Kami pun pulang dengan senang.

Beberapa pelajaran yang saya dapat saat pendakian Gunung Lawu:

1. Jalur pendakian via Cemoro Sewu merupakan jalur dengan tipe tangga batu, menanjak tiada henti hingga ke pos 5 dan minim bonus. Saya tidak akan pernah mau turun lewat jalur ini karena lutut akan cepat sakit jika menahan beban untuk turun gunung melewati jalur tangga batu.

2. Jalur pendakian via Cemoro Kandang merupakan jalur dengan tipe tanah bertangga akar pohon ataupun tanah jalur air, banyak bonusnya kalau kita memilih jalur yang zigzag, sedangkan jalur yang tidak zigzag merupakan jalur yang lebih terjal dan membutuhkan sedikit effort untuk turun apalagi naik gunung. Jika ingin merasakan kedua jalur di atas, maka saya menyarankan untuk naik via Cemoro Sewu dan turun via Cemoro Kandang.

3. Untuk dapat melihat pemandangan savana dari dekat, kita bisa melewati jalur turun via Candi Cetho. Saat itu, sebelum turun gunung via Cemoro Kandang, kami menitipkan tas di warung Mbok Yem dan menyusuri jalan turun gunung via Candi Cetho, lebih kurang memakan waktu satu jam untuk pulang-pergi dari Mbok Yem- Savana- lalu ke Mbok Yem kembali.

4. Uniknya, di Gunung Lawu ini terdapat banyak warung. Walaupun berangkat hari Jumat (bukan di waktu weekend), warung tetap ada yang buka. Kami menemukan warung di jalur pendakian via Cemoro Sewu di pos 1, pos 2, pos 5, dan Mbok Yem. Sedangkan di jalur pendakian via Cemoro Kandang tidak ada warung hingga sampai di basecamp.

Jangan meninggalkan apapun kecuali jejak, jangan mengambil apapun kecuali foto, dan jangan membunuh apapun kecuali waktu.

Related Posts :

0 Response to "Akhir Pekan Mendaki Gunung Lawu, Ini Kisahnya"

Posting Komentar