Di pedalaman Flores, NTT, ada sebuah desa di balik pegunungan yang begitu unik dengan 7 rumah adat yang masih terjaga. Inilah dia Desa Wae Rebo.
Terletak di Manggarai, Nusa Tenggara Timur, desa superkecil dengan penduduk 25 keluarga ini pernah memperoleh penghargaan tertinggi dari UNESCO. Wae Rebo, jauh sebelum dikenal Nusantara, desa ini telah terkenal di penjuru jagat raya karena keunikan rumah kerucutnya yang disebut (Mbaru Niang).
Untuk mencapai lokasi ini, kita harus melalui dua penerbangan. Pertama melalui Bandara Ngurah Rai kemudian dilanjutkan menuju Bandara Komodo. Dari Labuan Bajo perjalanan masih harus dilanjutkan menuju Manggarai barat. Butuh waktu 5 jam untuk sampai di perbatasan sebelum melanjutkan trekking sejauh 9 km menuju puncak gunung di mana Waerebo berada.
Rute pendakian curam dengan kanan kiri jurang. Pemandangan sepanjang jalan benar-benar menggambarkan keindahan bumi pertiwi di mana tongkat kayu dan batu menjadi tanaman. Menyusuri hutan kami harus melewati 4 pos pendakian.
Pos 2 merupakan pos terjauh dengan view paling Indah. Di sini kami mengambil foto dengan background hamparan laut biru Bumi NTT.
Untuk sampai Wae Rebo kita pasti melewati sebuah jembatan penghubung dari bambu. Jembatan ini pula bisa menjadi penanda bahwa kita akan memasuki pos 4 atau pos terakhir pendakian.
Waktu sudah hampir malam ketika memasuki Wae Rebo. Badan basah kuyup sepanjang perjalanan diguyur hujan. Sampai di Pos 4, hal yang harus dilakukan adalah memberi aba-aba kepada ketua adat bahwa ada tamu dengan cara menghidupkan klengtongan (kayu) sebagai tanda kehadiran.
Jam menunjukkan pukul 18.00 malam. Kami dipersilahkan masuk oleh ketua adat ke dalam Mbaru Niang untuk melakukan ritual upacara terhadap leluhur mereka.
Tradisi ini wajib dilakukan sebagai tanda 'permisi' untuk memasuki daerah Wae Rebo. Ada 7 Mbaru Niang (rumah kerucut) dan kami menginap di salah satu rumah tersebut.
Malam itu kami tidak sendiri, kami satu rumah dengan rombongan My Trip My Adventure Trans TV. Ada Richard Kyle, Putri Morino dan rombongan TRANS TV lainnya yang menambah keramaian di malam itu. Tidak ada listrik di desa ini, aliran listrik hanya menggunakan genset, dan itu pun nyala hanya sampai jam 22.00 WITA, selebihnya lampu akan padam.
Warga Wae Rebo juga memberi hidangan makan sederhana kepada kami. Nasi soto tanpa kerupuk dan menurut kami cukup untuk mengisi perut kosong selama perjalanan.
Terbitnya matahari adalah hal yang paling kami tunggu. Apalagi untuk daerah seindah Wae Rebo. Sunris tentu menjadi momen rebutan terutama bagi para pecinta fotografi dan pembuat video.
Drone sudah berterbangan sejak pagi mengambil moment indah Wae Rebo. Jika Anda melihat Wae Rebo di pagi hari, Anda serasa berada di kawasan Mediterania.
Tidak berlebihan jika desa ini memperolah penghargaan tertinggi dari UNESCO dan menyingkirkan pesaing-pesaingnya dari negara lain seperti kompleks bangunan Sethna di Mumbai, India, pengairan bersejarah di Karnataka, India, serta kawasan William Street di Perth, Australia.
Mau disandingkan dengan desa apapun di dunia ini, rasanya Waerebo tidak akan turun pamornya. Ayo ke Waerebo!
0 Response to "Wae Rebo, Desa di Balik Gunung yang Mendunia"
Posting Komentar